Rabu, 04 Agustus 2010


 Setelah berakhirnya tahun 2009, Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan, yang menyatakan, bahwa pada 2010 nantinya banyak industri manufaktur tutup dan jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya kemungkinan akan  mencapai sekitar 7,5 juta. Itu berarti, bahwa angka penganggur terbuka yang saat ini sekitar 8,9 juta akan membengkak menjadi 17,8 juta orang. Hal ini benar sangat merugikan sektor perindustrian dalam negeri. Tak hanya itu para pekerja harus kehilangan pekerjaannya karena pabrik atau perusahaan yang mempekerjakan mereka bakal tutup karena melihat keadaan tidak memungkinkan bersaing dengan datangnya barang Cian yang lebih murah.
Lonjakan angka pengangguran itu disebabkan oleh serbuan produk RRC. Mulai 1 Januari 2010, era perdagangan bebas Asean-China atau yang disebut Asean-China Free Trade Area (AC-FTA) diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu sudah sepatutnya menjadi kekhawatiran para pengelola sector industri di Indonesia.
Tak satu pun industriawan Indonesia yang senang dengan AC-FTA. Mereka tahu persis, Indonesia, yang sebagaimana telah dialami oleh kebanyakan negara Asean lainnya, tidak akan mampu mengungguli produk RRC. Sebelum memasuki AC-FTA pun, negara-negara Asean sudah kedatangan produk dari Cina. Kini, dengan bea masuk nol persen, produk RRC akan semakin mencengkeram pasar domestik. Industriawan nasional pun akan menangis karena PHK tak terelakkan. Sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah itu benar apa salah ya? Membiarkan industriawan Indonesia melihat Cina yang sedang menari-nari dengan barang-barangnya di ini. Hal ini sama saja kita kembali ke jaman penjajahan tetapi yang saat ini bukan Belanda atau Jepang yang menjajah kita dengan merampok hasil alam dan rempah-rempah melainkan Cina dengan barang-barang impornya.
Para pedagang dan konsumen mungkin tidak mempermasalahkan perkembangan ini. Bagi pedagang, yang penting adalah margin laba yang besar. Sebagian dari mereka sebelumnya adalah pemilik pabrik tekstil dan garmen. Para pedagang itu akhirnya banting setir karena produk mereka tidak dapat bersaing dengan produk RRC. Nah bisa dapat dibayangkan biaya yang dikeluarkan untuk me-reset kembali usaha yang telah kita bina. Harga produk RRC yang jauh lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah, bahkan lebih bagus, sehingga memancing konsumen untuk lebih tertarik dengan produk RRC. Tentu kalah bersaing dengan produk RRC karena kualitas industriawan dalam negeri di nilai tidak terlalu baik serta harganya yang cukup mahal, memang sangat ironis tapi inilah kenyataannya. Namun tidak demikian, tentunya para produsen memiliki tanggapan tersendiri mengenai harga dan kualitas barang dagannya.
Konsumen Indonesia mungkin tidak perduli dari mana asal-usul produknya, termasuk membanjirnya produk RRC. Mereka bahkan justru diuntungkan oleh produk dari negeri Tirai Bambu itu. Saat berbelanja, konsumen umumnya hanya melihat mutu dan harga. Sebagian besar konsumen Indonesia, yang memang berpenghasilan rendah,sehingga malah hanya mempertimbangkan harga. Mereka tidak terlalu sensitif terhadap kualitas, apalagi mempertanyakan produk lokal atau asing. Produk RRC yang murah justru menolong masyarakat berdaya beli rendah. Nach...itulah sisi positif dari datangnya produk Cina lewat ACFTA. Masyarakat yang memiliki daya ekonomi rendah dapat membeli barang-barang Cina untuk memenuhi kebutuhannya sehingga dapat menjauhi kesenjangan sosial.
Tapi, untuk kepentingan jangka panjang, kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Indonesia, negeri dengan penduduk 230 juta, serta memiliki sumber daya alam yang cukup untuk penduduknya, tidak boleh hanya menjadi pasar bagi produk asing dan semacamnya. Dari sisi jumlah penduduk, Indonesia menempati peringkat keempat setelah RRT pada urutan teratas dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar, setelah itu disusul India (1,1 miliar), dan AS (340 juta). Sebagaimana RRC, Indonesia juga harus bisa memanfaatkan jumlah penduduk yang besar untuk menggapai kemajuan. Jangan hanya menjadi pengamat, pendengar, atau penikmat  saja melainkan harus menjadi pelaku industri itu sendiri di rumah tanah sendiri
Yang mengherankan, pemerintah justru tidak sedikit pun menunjukkan kekhawatiran terhadap membanjirnya produk RRC. Seakan dengan mengikuti AC-FTA, tidak akan ada masalah dengan Indonesia. Para menteri dan pejabat pemerintah lebih banyak bicara teori bahwa Indonesia harus bisa bersaing di pasar global. Indonesia tidak boleh takut menghadapi produk negara lain, termasuk produk RRC. Hal ini dapat kita lihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan. Apakah usaha pemertintah dalam memasukkan produk luar secara bebas dapat terus membantu Indonesia ? Ya kita lihat saja perkembangannya sampai akhir 2010 ini.
Pemerintah lupa bahwa persaingan itu ada syaratnya. RRT tidak membuka pasarnya ketika industri manufakturnya belum kuat. RRT memproteksi produk dalam negerinya selama beberapa dekade. Setelah industri manufakturnya kokoh dalam dekade terakhir, RRT berani membuka pasar. Saat ini, negeri manakah yang mampu menahan produk RRT (Republik Rakyat Tionghoa) atau Cina ? AS pun tidak mampu. Begitu pula negara-negara Eropa. Produk RRT sangat unggul dalam harga. Meski mutunya tidak hebat, konsumen tetap tergiur karena kualitas produk RRT tidak jelek dan mutunya terus mengalami perbaikan.
Ekspor RRC tahun 2008 mencapai US$ 1,4 triliun, sedang impornya hanya 1,1 miliar atau meraih surplus perdagangan US$ 295 miliar. Tidak heran jika cadangan devisa RRC terus meningkat dan kini mencapai US$ 2,3 triliun. Untuk lingkup Asean, RRC. Pada tahuhn 2008, Asean mengekspor US$ 85,6 miliar dan mengimpor  US$ 107 miliar. Indonesia pun sudah terbilang tidak mampu. Pada 2008, ekspor Indonesia ke RRC sebesar US$ 11,6 miliar, sedang impor dari RRC sebesar US$ 15,2 miliar. Mulai tahun ini, defisit perdagangan RI-RRC bakal meningkat tajam dari  tahun sebelum-sebelumnya. Tanpa bea cukai RRC tentunya lebih banyak mendapatkan keuntungan.
Semoga hal ini dapat menjadi suatu pertimbangan tersendiri bagi Pemerintah nantinya, sehingga apakah dengan membanjirnya produk impor dalam negeri dapat mendatangkan dampak positif bagi negara ataupun malah menghancurkan produksi manufaktur di Indonesia.